Ketika sesuatu yang sangat berarti untukmu telah hilang,
maka yang ada tinggallah kenangannya.
Siapa yang tak pernah merasa kehilangan ? Setiap orang pasti
pernah merasakannya. Dari sesuatu yang kecil, kehilangan bolpoin atau tipe-x
misalnya semasa sekolah. Kehilangan percaya diri mungkin, atau bahkan
kehilangan suatu benda yang sangat berarti untuk hidup kalian ? Jangan sampai
ya. Apapun keadaannya kehilangan itu rasanya menyakitkan.
Apalagi jika
kehilangan dikaitkan dengan sebuah kepercayaan. Ada yang bilang bahwa
kepeercayaan itu mahal harganya. Jika kelak kamu kehilangan kepercayaan
tersebut kamu akan benar-benar merasa merugi. Bagaimana tidak, kamu tidak hanya
kehilangan kepercayaan itu sendiri tapi lambat laun kamu juga akan bisa kehilangan
orang-orang yang ada di dekatmu. saya pernah berada di posisi seperti ini. Ya,
mungkin sekitar 4 tahun yang lalu. Rasanya menyakitkan. Ketika saya sadar bahwa
saya telah mengecewakan sahabat terdekat saya. Menyesal ? Tentu. Saat menyadarinya
saya selalu berusaha untuk mengembalikan kepercayaan itu. Walaupun akhirnya
saya dan sahabat saya tersebut bias kembali akrab lagi tapi hubungan itu tak
sebaik dulu sebelum kejadian tersebut. Bukankah jika gelas telah pecah kemudian
berusaha dirangkai kembali susunannya tak sebaik semula ? Ya, saya paham akan
itu. Yang ada kini hanyalah penyesalan dan akan berusaha untuk menjaga hubungan
yang ada saat ini. Untungnya sampai saat ini saya masih bias bersamanya
meskipun tak seindah dulu. Maka dari itu selagi kamu masih mempunyainya jagalah
dengan segenap jiwa.
Saya pun juga pernah kehilangan seseorang. Teman, saudara,
keluarga, sahabat, adik entah bagaimana saya harus mendeskripsikannya. Yang jelas
ini lebih menyakitkan daripada kehilangan kekasih. Haidar Wisyam. 18 September
1995. Lelaki kecil ini menghembuskan nafas terakhirnya di usia 18 tahun pada
tanggal 2 Oktober 2013 lalu pada puku 12.35 WIB. Jika ada yang bertanya “Apa yang kamu rasakan ?”.
Aku tak mampu menjawabnya. Bukan berarti aku tak merasakan apa-apa. Tapi yang
jelas saat itu aku merasa lemas, tak berdaya, dan entah aku apa yang harus aku
lakukan. Terlebih lagi pada saat itu, saat-saat terakhirnya aku tak bisa berada
di dektanya. Tak bisa terus menatap matanya. Tak bisa berusaha berbicara
padanya meskipun hanya lewat isyarat. Ya, saat itu saya sudah berada di Malang
kembali ke kota perantauan untuk mencari ilmu. Tiga hari sebelumnya tepatnya
pada tanggal 29 September 2013 saya bersama beberapa kawan memutuskan untuk
menjenguknya di salah satu Rumah Sakit di Jember. Saya bisa melihat jelas
mukanya yang penuh dengan harapan untuk segera pergi dari ruangan tersebut. Ya,
itu saat terakhirku melihatnya. Itu jarak terdekat antara saya dengannya. Dengan
berbatas kaca kami berusaha untuk saling berbicara. Berbicara melalui hati. Ketika
mulut tak sanggup untuk mengucapkan hanya tulisan yang dapat mengutarakannya. Saya
ingat betul tulisan yang saya dan kawan lainnya buat yaitu “Semangat ya kamu
pasti sembuh ^^” Ya, satu kalimat sederhana yang tertulis. Begitu cepat ia
meresponnya dengan mengangkat jempol tangan kanannya dan memperlihatkannya
kepada kami. Pada saat itu saya langsung berpaling darinya. Menghindari kokohnya
kaca yang berusaha memisahkan kita. Bukan saya tak peduli lagi dengannya. Butiran-butiran
air saat itu terus berdesakan memaksa untuk keluar. Saat itu saya tak tega jika
ia harus melihat raut kesedihan dari kami. Saya terus berusaha menahannya. Berusaha
untuk terus tegar agar dapat terus melihat dan memberi semangat untuknya. Jika saat
itu saya tahu itu adalah waktu terakhir untuk kita bertemu mungkin saya tak
akan membiarkan sedikit waktu terbuang dengan percuma. Tak ada kata-kata yang
terucap. Ia hanya bisa terus mengangguk. Siapa yang tega jika harus melihat
orang yang kalian sayangi sedang terpuruk ? Jujur, saat itu yang saya rasakan
adalah rasa takut kehilangan. Meskipun saat itu saya harus mensugesti pikiran
saya sendiri itu selalu berpikiran positif. Ya, ketakutan itu terus saja
menghantui.
Saya berharap setelah kepulangan kami tersebut akan ada berita
yang sedikit menenangkan. Dan ternyata itu terkabulkan. Malamnya saya
mendapatkan kabar bahwa ia sudah bisa keluar dari ruang ICU. Senang ? tentu. Esoknya
ketika saya melakukan perjalanan ke Malang dengan hati yang lumayan tenang. Alhamdulillah.
Kemudian esoknya ada kabar lagi yang mengejutkan bahwa ia harus segera di
operasi dan pada saat itu kondisinya sedang tidak stabil. Sembari menunggu
keadaannya membaik, kawan-kawan yang lain sedang sibuk mencari para pendonor
darah. Ya, persediaan darah pada saat itu sedang mengkhawatirkan. Apa yang bisa
saya lakukan ? miris. Saya hanya bisa membantu untuk menyebarluaskan berita itu
kepada kerabat-kerabat terdekat untuk mencari pendonor. Selain itu saya hanya
bisa berdoa. Doa terbaik untuknya. Tak lama kemudian, saya mendapatkan kabar
lagi bahwa darah yang dibutuhkan sudah memenuhi. Alhamdulillah. Operasi akan
dilakukan keesokan harinya. Kebetulan ada seorang kerabat kami yang sengaja
menginap disana karena ia memintanya. Iya. Ia yang meminta sendiri untuk
ditemani kawan saya. Day. Saat itu tak ada kata lain selain mengiyakan. Jadi saya
terus menjaga hubungan komunikasi dengan Day pada saat itu. Tak sedikit juga
Day mengingatkan saya untuk tetap tenang dan berdoa.
Keesokan harinya pagi-pagi sekali kawan saya Mellyntan pergi
ke Rumah Sakit untuk mencari kabar sekaligus menemani Day yang sedari semalam
ada di Rumah Sakit. Saya tidak bisa merasakan ketenangan sama sekali pada saat
itu. Setiap beberapa menit saya selalu menanyakan keadaan disana. Sampai akhirnya
melly mengatakan bahwa keadaan Haidar sedang kritis. Saya tak bisa meneleponnya
karena pada saat itu saya sedang mengikuti kuliah. Yang saya fokuskan saat itu
adalah Haidar. Ya, hanya ia yang ada di pikiran saya. Sampai pada akhirnya
ketika saya sedang menanyakan keadaannya, Melly menjawab “Tanya Day aja”. Saat itu pikiran saya sudah
kemana-mana. Karena kuliah telah usai langsung saya memutuskan untuk menelepon
Day. Kalimat pertama yang terucap, “Sing sabar yo”. Ya Allah, air mata tak
dapat terbendung lagi. Ini menyakitkan. Saya tak percaya. Ia harus secepat itu
pergi. Teman-teman yang melihat saya sedang menangis menjadi bingung karena
mereka tak tahu apa yang sedang terjadi. Setelah ia membaca beberapa SMS di
handphone saya akhirnya mereka mengerti dan berusaha untuk menenangkan. Saya bingung,
lemas, entah harus berbuat apa. Kemudian saya memutuskan menghubungi seseorang untuk
memberitahu berita tersebut. Sambil terisak-isak ia berusaha menenangkan. Ya,
hanya sebatas itu. Tak ada yang mengerti betapa hancurnya saya saat itu. Tak
percaya bahwa kemarin adalah terakhir kalinya aku melihatnya. Setelah itu saya
lebih banyak diam dan menatap kehampaan. Jauh dengannya, jauh dengan mereka. Saya
hanya bisa menyendiri. Tak akan ada yang mengerti hancurnya hati ini.
Ya, meskipun itu sudah terlewati hampir satu tahun tapi aku
tak merasa kehilangannya. Aku hanya kehilangan raganya. Aku hanya tak bisa
melihatnya. Tapi aku yakin dia masih ada. Masih ada di dekatku, dekat kalian,
dekat dengan kita semua. Ini pertama kalinya saya bisa menuliskan kisah ini
setelah beberapa kali mencoba namun gagal. Saya terlalu lemah. Tak mudah untuk
menceritakan ini, tapi ada pesan yang tersimpan dari semua ini. Setelah
kejadian itu, saya lebih mendekatkan diri kepada teman-teman yang ada di
sekitar saya. Sebelum semua hilang dan hanya menjadi kenangan jangan sia-siakan
kesempatan.
Alm. Haidar Wisyam
Ini adalah pendakian terakhirnya sebelum ia pergi untuk selamanya
I love you too....
Terimakasih untuk semuanya
Canda tawamu akan selalu terkenang
Kamu selalu dihati, Dik ^^